Jakarta (Unas) – Dosen Program Studi Sastra Jepang Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Nasional (Unas), Dr. Wawat Rahwati, S.S., M.Hum. berhasil meraih gelar Doktor dalam bidang Ilmu Susastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Susastra, Kamis (13/07).
Wawat berhasil meraih nilai Sangat Memuaskan dengan mengangkat topik Suku Ainu dari disertasinya yang berjudul ‘Peliyanan dan Perlawanan Ainu dalam Novel Mori to Mizuumi no Matsuri (1958), Ainu no Ishibumi (1980), dan Jakka Dofuni Umi No Koiku no Monogatari (2016)’.
Dikutip dari ringkasan disertasinya, Ketua Program Studi Sastra Jepang FBS Unas itu membahas mengenai persoalan identitas suku minoritas Ainu yang menarik perhatian masyarakat Jepang. Hal ini juga seiring dengan munculnya Ainu boom atau popularistas Ainu pada tahun 1950, 1960, dan pada tahun 2000.
“Disertasi ini berupaya mengungkap pandangan masyarakat Jepang mengenai persoalan identitas Ainu yang dinarasikan dan dikonstruksi dalam tiga novel yang terbit pada tiga zaman. Saya menggunakan metode close reading, teori poskolonial, konsep identitas, othering, dan fokalisasi,” ucapnya.
Wawat menambahkan, hasil penelitian mengungkapkan bahwa terdapat transformasi cara pandang orang Jepang kontemporer terhadap identitas Ainu, meskipun masih tetap memperlihatkan superioritas Jepang atas Ainu.
“Transformasi diperlihatkan melalui dinamika dalam menghadirkan konstruksi identitas Ainu dan strategi resistensi yang ditawarkan dalam ketiga teks. Representasi identitas Ainu sebagai liyan yang primitif dan barbar dalam Mori to Mizuumi no Matsuri dikritisi dan digugat oleh Ainu no Ishibumi dengan mengkontruksi identitas Ainu sebagai self,” jelasnya.
Tak hanya itu, lanjut Wawat, transformasi cara pandang orang Jepang terhadap identitas Ainu diperlihatkan secara ambivalensi dalam Jakka Dofuni Umi no Kioku no Monogatari melalui strategi fokalisasi yang memperlihatkan pembelaan orang Jepang terhadap Ainu. Namun, tetap menunjukan superioritas Jepang yang meliyankan Ainu dengan cara membungkam suara mereka.
“Strategi resistensi dalam novel ini juga diperlihatkan secara kompleks dengan munculnya jejak resistensi yang ada dalam Mori to Mizuumi no Matsuri berupa negosiasi mimikri dan asimilasi yang dikontraskan dengan jejak resistensi self identity sebagai strategi yang ditawarkan dalam Ainu no Ishibumi. Dengan demikian, ketiga teks sastra ini saling berkelindan menjadi ruang di mana identitas Ainu dikonstruksi oleh dominasi Jepang sekaligus menghadirkan narasi perlawanan dari Ainu sebagai kelompok minoritas yang dikuasai,” tulisnya.