Diskusi “Program Studi Magister Linguistik” yang bertujuan membentuk komunitas semiotik yang melibatkan peserta aktif dari berbagai kalangan akademis

Diskusi “Program Studi Magister Linguistik” yang bertujuan membentuk komunitas semiotik yang melibatkan peserta aktif dari berbagai kalangan akademis

Pada hari Sabtu, 1 Februari 2025, di Ruang Seminar Menara UNAS Ragunan, berlangsung diskusi yang bertujuan membentuk komunitas semiotik yang melibatkan peserta aktif dari berbagai kalangan akademis.

Diskusi dihadiri oleh Dr. Somadi Sosrohadi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional; Prof. Fathu Rahman, M.Hum. dari Universitas Hasanuddin; Dr. H. Edi Sukardi, M.Pd., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Bogor Raya (UMBARA); Prof. Dr. Siti Yulidhar Harunasari, M.Pd. selaku Rektor Universitas LIA. Selain itu, turut hadir juga dosen Fakultas Bahasa dan Seni UNJ, Erfi Firmansyah, S.Pd., M.A., Bapak Iskandarsyah Siregar, S.S., M.Hum., Ph.D., selaku dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional, serta Kepala Program Studi Magister Linguistik Universitas Nasional, Dr. Tetet Sulastri, S.S., M.Si.

Diskusi dibuka oleh Dr. Somadi Sosrohadi, M.Pd., lalu dilanjutkan penyampaian ide secara panel. Ibu Siti mengusulkan penggunaan nama dalam bahasa Inggris untuk komunitas yang akan dibentuk, seperti “Urban Semiotic Specialist Association (USSA)” atau “Urban Semiotic Association (USA)”, serta pentingnya mempromosikan asosiasi ini di Vietnam. Pak Tommy menyoroti bahwa semiotika telah dibahas oleh tokoh-tokoh seperti Pak Erfi dan Piliang, yang berkontribusi pada pembentukan Lingkaran Semiotika Indonesia, meskipun ada tantangan dalam partisipasi aktif di platform digital seperti WhatsApp dan Facebook.

Diskusi kemudian berfokus pada pilihan untuk bergabung dengan Lingkaran Semiotika Indonesia atau membentuk komunitas baru yang lebih aktif, dengan penekanan pada pengaruh urbanisasi terhadap semiotika dan perlunya kolaborasi antar universitas untuk membangun komunitas yang produktif. Terdapat empat penggagas komunitas, termasuk Pak Tommy dan Bu Tetek, yang mendiskusikan arah lembaga yang akan dibentuk.

Pak Iskandarsyah menekankan bahwa penamaan lembaga harus disertai dengan “pelaku” lembaga tersebut.

Pak Erfi menekankan pentingnya menghubungkan ilmu bahasa dengan teknologi dan perkembangan urban. Beragam usulan nama komunitas muncul, seperti “Asosiasi Semiotika Kritis Investigasi” dan “Masyarakat Urban Semiotik Indonesia (MUSI)”, dengan penekanan pada pemilihan nama yang mudah diingat dan tidak berkonotasi negatif.

Diskusi diakhiri dengan kesepakatan untuk melanjutkan pembahasan di grup guna menentukan nama komunitas dan langkah konkret dalam pembentukannya. Dengan semangat kolaborasi, diharapkan komunitas semiotik yang baru dapat memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan ilmu ini, terutama dalam konteks urban.(FBS)