JAKARTA(UNAS)- Peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober bertepatan dengan Deklarasi bahasa nasional dan bahasa persatuan Indonesia, sehingga bulan Oktober diperingati sebagai Bulan Bahasa dan Sastra. Keluarga Universitas Nasional (Kalunas) bekerjasama dengan Fakultas Bahasa Sastra Universitas Nasional menyelenggarakan Diskusi Publik Kebudayaan dalam Alam Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana di Kampus Unas Sawo Manila Jakarta Selatan.
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) sebagai ‘Pujangga Baru’ di Kesusastraan Indonesia yang juga Laki-laki kelahiran Mandailing Natal, Sumatera Utara ini yang merupakan pendiri sekaligus Rektor Universitas Nasional (Unas) salah satu kampus Swasta tertua di Indonesia. Pemikirannya tak bisa dilepaskan dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Putri Pujangga STA, Tamalia Alisjahbana mengungkap, banyak yang salah paham mengenai pemikiran ayahnya itu.”Banyak orang salah paham mengenai apa yang dimaksud oleh Takdir waktu itu. Maksudnya adalah untuk saat ini kita perlu memandang ke Barat sebab pada saat itu Baratlah yang paling maju. Pada saat Borobodur dibangun bangsa kita telah memandang ke India dan mungkin dalam 100 tahun lagi, bangsa kita akan memandang ke negara lain lagi,” jelasnya, Sabtu (28/10/2023).
Tamalia juga mengungkap, pemikiran STA begitu jauh dan luas tentang masa depan Indonesia, sehingga jika Indosia memahami gagasan besar STA maka Indonesia akan menjadi negara yang maju.”STA percaya bahwa dengan cara demikian terjadi semacam brain storming dan kemudian akan muncul suatu pandangan baru yang terbaik. Suatu hal lagi yang penting yang muncul adalah bahwa kebudayaan Indonesia bersifat sangat inklusif. Ada tempat bagi semua pandangan dan itu hanya mungkin dalam suasana demokrasi sebab dalam demokrasi semua dianggap sederajat,” lanjutnya.
Novelis sekaligus Sastrawan Ayu Utami mengungkap STA merupakan salah satu filsuf yang lengkap dalam filsafat Indonesia.” STA memenuhi tiga kriteria yaitu dari Indonesia, menjadi orang Indonesia, menulis dengan kriteria akademis,” Katanya. STA, lanjut Ayu juga salah satu pemikir yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kesusastraan Indonesia.”Pemikiran STA berpengaruh hingga sekarang salah satunya adalah penggunaan bahasa yang egaliter, STA tidak pernah menyebut Beliau pada orang yang lebih dihormati, namun menyebut Bung bagi laki-laki, untuk itulah ada penyebutan Bung Karno, Bung Hatta, tawaran pemikirannya jelas, dan STA juga membangun lembaga pendidikan seperti Universitas Nasional,” ungkapnya.
Ayu juga menyebut STA sosok intelektual penting dalam sejarah Indonesia. Ia pendukung demokrasi dan negara sekular.”Ia mewakili pemikiran modern (rasional, teleologis, optimistis, aksiologis), Ia berani berpolemik, mengasah pemikirannya, mempertanggungjawabkan dan membelanya bahkan hingga dipenjarakan, Indonesia bersyukur punya Sutan Takdir dalam sejarah intelektualnya,” tutupnya.
Searah dengan Ayu, Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Anton Kurnia menyebut STA salah satu pendiri Akademi Jakarta yang saat ini menjadi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).”Ketika dikukuhkan Gubernur Ali Sadikin pada 1970, para anggota Akademi Jakarta terdiri dari Sutan Takdir Alisjahbana (budayawan dan sastrawan), Mohammad Said Reksohadiprodjo (pendidik), Mochtar Lubis (wartawan dan sastrawan), H.B. Jassin (kritikus sastra), Affandi (perupa), Asrul Sani (penyair dan dramawan), Soedjatmoko (sosiolog), D. Djajakusuma (dramawan), Rusli (pelukis), dan Popo Iskandar (perupa),” jelas dia.
STA, lanjut Anton, ditunjuk menjadi ketuanya yang pertama hingga saat beliau wafat pada 1994. Dalam hal ini, STA bisa dikatakan sebagai salah satu tokoh peletak dasar Akademi Jakarta. “Setelah STA wafat, posisinya sebagai anggota AJ digantikan oleh sejarawan Taufik Abdullah yang kelak terpilih sebagai ketua AJ menggantikan Koesnadi Hardjasoemantri sejak 2007-2020. Adapun posisi ketua AJ sebagai pengganti STA saat itu dijabat oleh Mochtar Lubis (1994-1999),” bebernya.
Jejak STA Sebagai Pendidik
Wakil Menteri Agama RI Saiful Rahmat Dasuki dalam sambutannya mengaku sangat bangga menjadi salah satu anak didik STA.”Pemikiran STA sangat penting untuk diterapkan dalam setiap lini kehidupan, ajaran STA membangun karakter kritis yang kedepan menjadi modal bagi kemajuan ilmu pengetahuan juga kebudayaan,” ungkap perwakilan Alumnus Unas jurusan FISIP angkatan 1992.
Saiful yang akrab disebut Gus Saiful ini mengungkap saat dirinya menjadi mahasiswa di Unas, mengikuti mata kuliah STA yaitu Filsafat dan Kebudayaan.”Saya memiliki pengalaman saat mengambil mata kuliah STA, saya dua kali mengulang mata uliah Filsafat dan Kebudayaan karena mendapat nilai C, namun hal itu menjadi momen tidak terlupakan bagi hidup saya,” beber mantan pimpinan GP Ansor DKI Jakarta ini.
Pemikiran STA dalam segala lini kehidupan, dikatakan Saiful sangat penting dan harus dijaga.”Saya berharap, pemikiran STA di monumenkan dan diabadikan dalam sebuah museum,” katanya. Lebih lanjut, Guru Besar FISIP Unas Firdaus Syam mengungkap, STA sangat menyukai mahasiswa yang suka protes dan kritis.”Saya ingat sempat protes kepada STA, bukan saya dimarahi, dia malah memanggil saya dan menawarkan saya membuat buku,” katanya.
Penulis dan Penyair Arlina Hart sebagai salah satu mahasiswa Sastra didikan STA sangat tegas namun mendidik.”Saya sempat protes pada STA karena menganggap Estetika diatas agama, lalu saya protes kepada STA saat itu sebagai dosen saya kurang benar memberi materi pembelajaran, setelah itu saya dipanggil ke ruangannya, saya pikir saya akan dimarahi, dia malah menawarkan beasiswa untuk belajar ke Cina,” kenangnya. Dalam rangkaian kegiatan diskusi ini, undangan dan peserta di hibur dari penampilan Musikalisasi Puisi Deavis Sanggar Matahari dan pembacaan puisi yang di bawakan oleh Dodo Lantang, dengan tema Orde Kampus Perjuangan sebagai kilas balik pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana.